SEPATU DAHLAN
NAMA :
RISTI RENO SUMEKAR
NIM :
06021281320006
PRODI :
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
MATA KULIAH : MENYIMAK
PEMBIMBING : IZZAH, S.Pd., M.Pd.
SEPATU DAHLAN
1. Identitas Buku
a.
Judul Buku : Sepatu Dahlan
b.
Penulis Buku : Khrisna Pabichara
c.
Penerbit : Noura Books ( PT Mizan
Publika )
d.
Cetakan : Mei 2012 ( Cetakan 1 )
e.
Tebal Buku : 369 halaman
f.
Panjang Buku : 21 cm
g.
Tempat Terbit : Jakarta
2. Identitas Pembaca
Pembaca mulai membaca novel ini pada
hari Jum’at, 30 Agustus 2013 pada pukul 10.15 WIB.
3. Isi Cerita
Novel Sepatu Dahlan
mengisahkan sebuah perjuangan seorang Dahlan kecil yang mempunyai dua mimpi
besar yaitu memiliki sepatu dan sepeda. Dua mimpi besar tersebut sangatlah
penting bagi Dahlan kecil karena saat menuntut ilmu, ia harus berjalan
berkilo-kilo meter untuk sampai ke sekolahnya tanpa menggunakan alas kaki “nyeker” serta sepeda untuk
mempermudahnya untuk pergi kemana-mana. Dahlan kecil terlahir dari keluarga
yang sangat amat sederhana di sebuah kampung yang bernama Kebon Dalem. Sebuah
kampung yang sangat berarti bagi Dahlan kecil dan keluarganya. Dahlan kecil
merupakan anak ke-3 dari 4 bersaudara. Dua kakak perempuannya sudah bersekolah
di perguruan tinggi dan ada yang sudah bekerja, serta satu adik laki-laki, Zain
yang berumur 8 tahun dan bersekolah di SR. Ayah Dahlan hanya seorang pekerja
serabutan dan Ibunya sebagai Ibu Rumah Tangga sekaligus pengrajin batik di
kampung itu. Hidup di bawah garis kemiskinan tidak lantas membuat Dahlan putus
asa. Banyak pekerjaan yang ia lakukan sebelum maupun sesudah sekolah. Dari
mulai nguli nyeset, nguli nandur sampai melatih tim bola voli anak-anak juragan
tebu.
Dahlan kecil sekolah di
sebuah Sekolah Rakyat. Ia lulus dengan nilai yang tidak memuaskan. Dua angka
merah. Ya, dua angka merah itu membuat Ayah Dahlan marah. Lulus dari SR, ia
ingin sekali melanjutkan sekolahnya ke SMP Magetan. Tapi dengan nilai seperti
itu ia tidak yakin akan diizinkan untuk bersekolah di sana. Apalagi ditambah
dengan biaya sekolah yang mahal dan jarak yang ditempuh cukup jauh. Lima belas
kilometer. Dengan penuh pertimbangan, akhirnya Dahlan melanjutkan sekolahnya di
Pesantren Takeran atau biasa disebut Pesantren Sabilil Muttaqien. Hari pertama
sekolah dengan tetap “nyeker”, Dahlan
bertemu dengan teman lamanya, Kadir yang juga bersekolah di Pesantren Takeran.
Hari-hari bersekolah, Dahlan lalui dengan suka cita dan penuh dengan
perjuangan. Iapun dipercaya dan terpilih sebagai kapten tim voli menggantikan
Adam. Pada suatu ketika, saat malam tiba seperti biasa Ibu Dahlan mulai mbatik. Dahlan dan Zain ikut membantu
sang Ibu mengerjakan pesanan mbatik.
Tetapi tak disangka ada suatu kejadian yang membuat Ibu marah kepada Dahlan.
Anglo dan malam yang masih panas itu terjatuh menimpa kain mori dan percikannya
mengenai kaki Ibu. Dahlan merasa sangat bersalah kepada Ibunya.
Saat sepulang sekolah,
Dahlan mencari-cari Ibunya di dalam rumah tetapi tidak menemukan keberadaan
Ibunya. Dahlan terus memanggil-manggil dan mendapati Ibunya sudah tergeletak
tak berdaya dan muntah darah. Panik dan cemas suasana yang menggambarkan
keadaan Dahlan saat itu. Selama beberapa hari di rawat di RS Madiun, Dahlan dan
Zain tinggal sendirian di rumah. Pernah suatu ketika Dahlan mencuri tebu untuk
mengganjal perut laparnya dan Zain. Namun nasibnya tak begitu baik. Ia
tertangkap oleh penjaga kebun tebu dan diberi hukuman “mondok” selama seminggu. Pagi-pagi Dahlan berangkat ke sekolah dan
bertemu dengan Maryati yang menggunakan sepeda cantiknya. Maryati memaksa
Dahlan untuk mencobanya dan dengan berat hati karena melanggar peraturan
Ayahnya, Dahlanpun mau mencobanya. Lagi-lagi nasib na’as menghampirinya. Sepeda
yang ia tumpangi bersama Maryati terjatuh dan masuk ke dalam selokan. Sepeda
itupun rusak. Saat membersihkan pakaiannya yang kotor, Dahlan melihat sosok
gadis cantik yang pernah ia lihat sewaktu bermain gitar bersama Kadir. Aisha
namanya. Dengan pakaian yang kotor dan basah, Dahlan memutuskan untuk pulang ke
rumah dan tidak bersekolah. Setibanya di rumah Dahlan dikejutkan dengan banyak
orang yang berkerumun di rumahnya. Betapa kegetnya ia saat mengetahui Ibunya
tergeletak kaku di atas tikar pandan. Dahlan tidak menyangka akan secepat ini
kehilangan seorang Ibu yang sangat ia sayangi. Kehilangan merupakan hal
terberat bagi hidupnya. Kehidupan Dahlanpun semakin sulit tanpa kehadiran
seorang Ibu disampingnya. Tak ada lagi suasana bahagia yang pernah ia lewati
bersama Ibunya. Belum usai kesedihan Dahlan, Ia harus kehilangan beberapa ekor
domba miliknya untuk menebus kerusakan sepeda Maryati. Hingga suatu hari Dahlan
terpilih menjadi pengurus Ikatan Santri di Pesantren Takeran dan timnya
dipercaya untuk mengikuti lomba bola voli di tingkat kabupaten. Dengan usaha
dan kerja keras melalui berbagai rintangan hingga peraturan final yang
mengharuskan semua anggota tim untuk memakai sepatu. Peraturan itu dapat
dilalui Dahlan dan teman-temannya walau menggunakan sepatu yang kekecilan untuk
ukuran kakinya. Babak final dimulai dengan penuh semangat membara dan merekapun
berhasil keluar sebagai juara mengalahkan tim terkuat SMP Magetan sekaligus
menunjukkan kepada orang-orang yang telah memandang sebelah mata Pesantren
Takeran bahwa mereka juga dapat berprestasi di tingkat kabupaten. Kabar
kemenangan itupun santer terdengar di seluruh penjuru kampung. Sampai-sampi
Dahlan ditunjuk sebagai pelatih untuk melatih anak-anak juragan tebu PG Gorang
Gareng. Upah yang diterima Dahlan cukup besar Rp 10.000 per bulan. Upah itu ia
gunakan untuk mencicil sepeda bekasnya dan digunakan untu membeli dua pasang
sepatu untuknya dan adiknya, Zain. Kedua impian besar bahkan sederhana Dahlan
itupun terwujud walau dengan kerja keras dan perjuangan tanpa lelah yang penuh
resiko.
Persahabatan merekapun
semakin hari semakin erat. Tak disangka pernah terjadi suatu kesalahpahaman
antara Kadir dan Imran, tetapi itu semua dapat diselesaikan dengan kepala
dingin. Tiba saatnya ketika kelulusan Madrasah Aliyah. Dahlan lulus bersama
dengan teman-teman yang lainnya. Kelulusan itu yang membuat mereka berpisah
untuk merancang masa depan sendiri-sendiri. Kuliah, katayang membuat Dahlan
ingin mewujudkannya sekaligus untuk mengikuti jejak Aisha, gadis yang ia kagumi
selama ini. Perasaan sedih kembali menghampiri Dahlan ketika ia ingin
melanjutkan ke bangku kuliah. Ia merasa berat untuk mengungkapkan keinginannya
itu di depan ayahnya. Berbagai cara Dahlan lakukan untuk membujuk Ayahnya dan Zain.
Menunggu beberapa hari, akhirnya Dahlan diizinkan untuk kuliah walaupun Dahlan
merasa bersalah meninggalkan Zain sendirian di rumah. Hidup seorang Dahlan
penuh dengan perjuangan dan kesederhanaan. Kesederhanaan membuat Dahlan untuk
lebih giat bekerja dan berusaha untuk meniti masa depan. Kesederhanaan dan
kemiskinan tak menghalanginya untuk bermimpi. Begitulah kehidupan Dahlan kecil
yang sekarang menjabat sebagai menteri BUMN.
4. Ulasan / Komentar
Dahlan
Iskan, ya itu namanya. Anak yang hidup di sebuah kampung kecil yang hidup dalam
kemiskinan. Kemiskinan itu mengharuskannya untuk bekerja lebih keras agar dapat
memenuhi kebutuhan hidup. Novel ini sangat menginspirasi banyak orang yang
membacanya dan membuat pembaca sadar akan perjuangan yang penuh dengan resiko
dan tantangan demi mewujudkan mimpi yang menurut kita sangat sederhana. Sangat
baik untuk dibaca oleh para pelajar agar tergugah untuk mempunyai semangat dan
daya juang yang tinggi. Novel ini juga mengajarkan kita untuk tetap semangat
pantang menyerah untuk mencapai tujuan walaupun tujuan itu sangat sederhana
sekalipun. Mimpi adalah sebuah harapan, harapan bisa menjadi kenyataan dengan
selalu berusaha dan berdoa. Jadi, jangan
takut untuk bermimpi karena mimpi adalah milik kita.